Berkat jarak umur yang hanya dua tahun dengan abang, membuat saya tidak sulit berteman dengan teman-temannya. Salah satunya Bang Billah, yang akhir-akhir ini saya tahu ternyata suka jalan-jalan ke gunung.
Dimulai dari DM-an instagram, Bang Billah mengajak saya untuk ikut tahun baruan bersama teman-temannya di Gunung Guntur, Kab. Garut. Karena bukan kebiasaan saya menolak ajakan ke gunung, jadilah gayung bersambut maka tanpa percakapan yang panjang lebar dan persiapan hanya dilakukan H-1 kami pun berangkat.
Di trip ini saya melakukan perjalanan bersama Bang Billah, Bang Dodo dan pacarnya, Teh Martina. Perjalanan kami tempuh menggunakan motor dari Bandung, kurang lebih 2 sampai 3 jam termasuk istirahat sebentar di warung sebelum jalan Nagrek. Dengan berbekal Google Maps kami melanjutkan perjalanan.
Sampai di titik yang diarahkan Google Maps, ternyata jalur itu ditutup dan kami diarahkan ke antah berantah. Perlu kalian ketahui, banyak warga sekitar yang tidak tahu jalur pendakian Gunung Guntur.
Karena seaat itu banyak pendaki yang ingin menghabiskan tahun baru di gunung ini juga, maka kami mengikuti sebuah truk kolbak yang berisi pendaki lain untuk sampai ke basecamp.
Kami sampai di tempat parkir yang dekat dengan masjid, dari sana ada beberapa warga sekitar yang mengarahkan untuk parkir. Kami mulai mempacking ulang dan membagi perlengkapan kelompok, dan perjalanan Gunung Guntur via Cikahuripan dimulai.
Menuju Pos Cikahuripan
Gunung Guntur sempat ditutup selama seminggu di bulan September hingga Oktober karena kebakaran. Gunung setinggi 2.249 mdpl ini punya banyak trek yang menakjubkan, gak bisa ditebak, terutama buat orang seperti saya yang tidak pernah meriset gunung yang akan didaki sebelumnya, maklum tiap googling suka banyak cerita mistis yang keluar. Jangan ditiru.
Pertama, kami disambut dengan pos yang berportal tanpa penghuni—tidak ada orang sama sekali disana. Selanjutnya tanjakan batu yang dihiasi pohon bambu. Wow! Saya tak bisa berkata apa apa, welcome drink-nya gini amat dalam hati. Setelah diberi prolog yang lumayan menguras tenaga, ada bonus yang cukup buat balikin lagi semangat.
Pemandangan ke Pos Cikahuripan sangat ramah—dikelilingi perkebunan warga—maka ketika kami naik saat itu sekitar pukul 1 siang banyak orang tua yang sedang beristirahat sambil makan perbekalan dan ada pula yang hendak pulang.
Dengan susah payah sampailah kami di Pos Cikahuripan. Keramaian ditambah hujan gerimis yang memang sudah sejak tadi menemani membuat perut kami lapar. Nasi kuning dengan sayur kol dan mie hanya lima ribu rupiah—sangat murah—yang saya kira porsinya kecil ternyata tidak habis juga masuk ke perut ini.
Di sini saya menyadari kesalahan. Untuk kalian yang ingin mendaki melalui jalur yang sama lebih baik beli air minum di pos ini, bawa secukupnya saja untuk perjalanan sekitar 1 jam saja dari parkiran ke Pos Cikahuripan, karena beban yang ringan sungguh sangat membantu dalam trek ini.
Trek Berpasir Ala Semeru dan Punggung Naga Merbabu
Setelah beristirahat cukup lama dan mendaftarkan diri di Pos Cikahuripan (tulis nama dan bayar dengan jumlah yang saya tidak tahu karena tiba-tiba semua sudah diurus abang, hehe), kami mulai lagi perjalanan menuju puncak. Ya, kami berencana camping di puncak. Pemandangan awal dari Pos Cikahuripan ke camping ground masih perkebunan warga dengan tanjakan yang bisa membakar 1 sampai 2 ons lemak badan, lebay.
Jarak Pos Cikahuripan ke camping ground hanya 20 menit dan di camping ground ini ada kamar mandi. Untuk kalian yang lebih senang tidur nyenyak dan summit attack tanpa carrier, lebih baik buka tenda disini.
Perjalanan Pos 1 ke Pos 2 tidak akan terlalu sulit, masih ada beberapa bonus yang bisa kalian temui. Gunung Guntur ini termasuk gunung yang gundul, sunblock jadi bawaan wajib buat kalian yang gak mau kulit terbakar, jangan remehkan gunung ketinggian 2000-an ini.
Jadwal pendakian kami sudah masuk musim hujan, untungnya curah hujan gak tinggi cukup gerimis-gerimis manja dan cuaca dari Pos 1 hingga hutan mati cukup bersahabat, tanpa kabut. Serius! Pemandangan ini jadi penyemangat banget, tiap udah capek kalian tinggal tengok ke belakang, indah.
Sedangkan Pos 2 ke Pos 3 cukup menantang, treknya pasir berbatu dan tanjakan yang gak dikasih bonus. Karena treknya yang berpasir dan curam serta tidak ada pohon yang bisa menjadi pegangan, saya sempat tidak bisa melangkahkan kaki—stuck ditempat. Bang Billah terlalu jauh untuk saya panggil (malas sih sebenarnya), tanpa tahu malu saya meminta pertolongan salah satu pendaki yang sepertinya tidak akan sulit menarik saya.
“Mas, bisa minta tolong?” Sambil mengulurkan tangan.
Nampaknya dia sudah mengerti apa yang saya alami, yap berhasil tanpa terperosok saya bisa jalan lagi. Dari sini saya diajari untuk memfokuskan bobot tubuh pada kaki bagian tengah dan memulai langkah dengan tumit, jangan jari jari depan karena rawan untuk mundur lagi.
Melewati hutan mati, trek dari sini berat, dan kami terpisah. Saya dengan Bang Billah dan Bang Dodo dengan Teh Martina. Saya masih sempat menikmati sunset dari hutan mati sebelum Pos 3, tapi karena sudah cukup lelah saya tidak dapat mengabadikan momen indah tersebut.
Sampai di Pos 3 yang merupakan lereng antara Puncak 3 dan 4 cuaca mulai memburuk, angin menjadi kencang dan kabut mulai membatasi penglihatan. Saya dan Bang Billah menunggu disini karena tenda dipegang Bang Dodo jadi kami tidak bisa mulai membangun tenda duluan.
Kami menunggu sekitar lima menit sebelum petugas datang menghampiri dan memperingati untuk tidak ke Puncak 3 karena di sana tidak ada pohon satupun dan angin benar-benar kencang saat itu, sehingga kami disarankan untuk terus naik ke Puncak 4. Saya cukup lelah sedangkan Bang Dodo dan Teh Martina belum juga nampak batang hidungnya, maka saya dengan tidak tahu malunya lagi meminta untuk diperbolehkan menumpang di tenda yang sudah ada di Pos 3. Ada tiga tenda di sana. Dengan senang hati saya diperbolehkan untuk masuk.
Ternyata di dalam tenda sudah banyak pengungsi, rata-rata perempuan yang sakit, menunggu dengan pasrah timnya menyiapkan tenda di Puncak 4 dan menjemput mereka ke puncak. Di sini saya kedinginan sampai membuat gigi bergeretak. Bang Billah cukup cekatan, walaupun di tenda berbeda dan sama-sama mengungsi dia masih sempat membuatkan saya Energen hangat.
Tidak lama kemudian tenda tiba-tiba dibuka. Suara gaduh membuat saya sedikit kaget terlebih ada seorang perempuan yang pingsan dan dimasukkan ke tenda yang saya tempati. Seluruh pengungsi kaget, sedikit bergeser untuk memberi ruang, tanpa sadar kami tidak mengenal satu sama lain, dengan sigap kami merawat mba-mba ini dengan cekatan. Suasana ini seperti saat ospek di perkuliahan tetapi senioritas di sini diganti dengan cuaca buruk, lebih menyeramkan dibanding komdis yang galak.
Bang Dodo dan Teh Martina akhirnya datang, mereka langsung memasuki tenda yang berbeda dengan saya. Tidak lama kemudian Bang Billah dan Bang Dodo berangkat ke Puncak 4 untuk mendirikan tenda, disela-sela menunggu mereka saya pindah ke tenda Teh Martina.
Tidak lama kemudian tenda dibuka dengan tergesa-gesa lagi, kali ini seorang anak laki-laki, sekitar umur 6 tahunan saya rasa, digendong ayahnya dan sudah dibalut beberapa selimut tebal, ia dimasukan dan kembali dirawat oleh orang-orang yang tidak mengenal satu sama lain. Saya belum pernah merasakan kehangatan dibalut kepanikan seperti ini, sekarang saya merindukannya. Setelah si anak sadar, sang ibu yang menemani bertanya.
“De, kapok gak naik gunung?” Si anak menggeleng, mungkin salah dengar.
Lalu si ibu bertanya kembali, “kalo ibu ajak naik gunung lagi mau?” Si anak mengangguk, hebat.
Akhirnya Bang Billah dan Bang Dodo kembali untuk menjemput saya dan Teh Martina. Mereka membawakan tas saya dan Teh Martina, summit attack tanpa carrier. Tapi tidak seindah yang dibayangkan, trek lebih licin dari sebelumnya dan saya sering kali merangkak daripada berjalan normal. Walau tidak terlalu panjang, tapi tanjakan ini lebih sulit dibandingkan dengan Punggung Naga Gunung Merbabu ketika tanahnya basah.
Sampai di atas, tenda sudah sangat banyak berjajar, tenda kami besar, sangat besar untuk penghuni yang hanya 4 orang. Angin kencang dan kabut yang tebal membuat gunung yang terkenal panas ini menjadi cukup dingin. Sesampainya di tenda, Bang Dodo dan Bang Billah masak, setelah itu kami makan lalu tidur.
Sepanjang malam suara angin seperti suara ombak, saya sempat mengira hujan, ternyata tidak. Tenda kami yang tinggi dan besar cukup baik untuk menjadi sasaran angin, tidak ada pohon di sekeliling, hanya tenda lain yang sama-sama seperti mau terbang terbawa angin. Saya jadi teringat film Everest, saat para pendaki tidur di tenda yang tidak mau diam.
Tengah malam orang-orang sangat berisik, berteriak tahun baru atau apalah, sampai ada suara petasan. Padahal sudah diimbau untuk tidak membawa dan membakar petasan di Gunung Guntur, mengingat baru saja gunung ini mengalami kebakaran. Tapi masih ada saja yang nekat dan membahayakan semua orang. Ada beberapa orang yang berteriak setelah petasan meletus “lapor polisi, lapor polisi.� Dan tertutup suara tawa dan ucapan ucapan selamat tahun baru.
Angin semakin malam semakin kencang, ini cukup untuk membuat saya lebih banyak beristigfar. Sekitar pukul 2 atau 3 malam saya bangun, Bang Billah juga, dan akhirnya saya berkata “bang takut� dan dia tertawa.
[vc_single_image image=”8673″ img_size=”full” add_caption=”yes” alignment=”center”]Sulitnya Menuruni Gunung Guntur
Angin belum berhenti berembus sampai pagi, kami melewatkan sunrise dan bangun siang. Setelah foto-foto, dari Puncak 4 terlihat sangat jelas Puncak 3 dan beberapa gunung indah lain seperti Cikuray dan siluet Gunung Papandayan karena tidak ada kabut sama sekali. Mungkin ini yang namanya badai pasti berlalu.
Tapi tidak hanya ada pemandangan indah, Puncak 4 juga menjadi tempat sampah yang besar. Sisa sisa pendaki yang cukup egois dan tidak memiliki etika.
Saat summit attack semalam saya sudah minder duluan. Naiknya gini amat gimana turunnya? Benar saja, tak terhitung sudah berapa kali saya terpeleset. Karena bosan terpeleset dan melihat Teh Martina turun dengan berjongkok saya pun mengikutinya dengan cara yang lebih ekstrem seperti main perosotan. Awalnya cara itu membuat pantat saya sakit, kemudian saya memperbaharui dengan berjongkok dan sedikit mengangkat kaki bagian depan, tetap tumit berperan penting di sini, baik naik ataupun turun gunung. Cukup efektif di trek licin, tetapi cara ini akan membuat sepatu kalian cepat rusak karena sol yang dadas, selain itu tas carrier juga akan bernasib sama.
Tidak hanya trek menyedihkan saat turun gunung ini, ada juga trek yang saya anggap bonus, lebih membahagiakan dari bonus gajian atau tunjangan hari raya (karena saya bukan pegawai). Trek pasir dan bebatuan kecil yang menyebalkan saat naik menjadi bonus saat turun, trek ini berubah seperti eskalator. Triknya, tetap gunakan tumitmu.
Perjalanan pulang sangat tidak terasa untuk saya yang menggunakan trik seperti tadi namun entah kenapa bebatuan kecil bisa masuk celana jeans saya yang tergolong ketat ini. Tetapi beda hal nya dengan Bang Billah yang sepanjang perjalanan turun ia memunguti sampah dan berjalan secara manual, lututnya sudah bergetar sebelum sampai Pos 2.
Kami hanya benar benar beristirahat setelah sampai di camping ground dan Pos Cikahuripan. Setelah makan dan saya mandi kami melanjutkan perjalanan ke tempat parkir, saya lebih berhati-hati agar tidak terpeleset dan harus mandi lagi. Kami pulang setelah magrib, menggunakan Google Maps yang awalnya benar, kemudian tiba-tiba mengganti arah dan membuat kebingungan kembali terjadi dan akhirnya bisa kembali ke rute awal walaupun lebih lama.
Di perjalanan yang membuat saya lebih manja dari biasanya ini (mungkin karena ada abang di sini), saya jadi sadar bagaimana mereka yang selalu memperjuangkan manusia lain agar tidak merusak alam, karena kita yang bergantung bukan sebaliknya. Dan untuk menjaga serta melestarikannya kita tidak bisa sendirian, butuh banyak, lebih banyak daripada mereka yang hanya menggerus potensi didalamnya dan lupa akan kewajiban sesama hidup.
Author
Add comment