Tingginya hanya 2.211 meter di atas permukaan laut. Mungkin gak sampai membuat berahi mendakimu bangkit. Secara gunung-gunung macam Rinjani, Semeru, Kerinci, Raung dan gunung-gunung jangkung menjulang lainnya—yang berdiri kokoh layaknya jomblo di ujung penantian—nampak lebih menggairahkan untuk disambangi.
Tapi itu semua bukan jaminan kamu bisa mendaki gunung ini dengan mudah. Tak banyak yang bisa mencapai puncak Gunung Salak. Bahkan menjadikannya pilihan untuk didaki pun rasa-rasanya … nanti dulu deh. Bilamana kamu beruntung bisa menapaki puncak 1 Gunung Salak sekalipun, bakal ada paling sedikit 5 puncak[1] Salak lainnya yang akan mencoba mengoyak-ngoyak euforia keberhasilan pendakianmu. Membuat foto-foto sejuta mimik bersama plang 2.211 mdpl itu tak lebih dari buih-buih di lautan. Terempas!
Sesuram itukah?
Baiklah kalau kalian tetap ngieyel untuk mendaki. Saya cuma mau sharing pengalaman saja supaya kamu bisa lebih mempersiapkan diri dalam mendaki Gunung Salak. Dan kabar baiknya, saya tidak sedang berencana menulis hal-hal berbau mistik tentang Gunung Salak. Saya pikir tidak baik untuk asupan otak dan lagi sudah banyak tulisan-tulisan berbau mistik tentang gunung ini bila kita mau coba googling. Dari yang paling absurd, sampai yang bikin kita menyesal pernah sekolah wajib 9 tahun? Ada!
Jadi daripada saya banyak kali cakap, dan gak bikin tambah ganteng juga, langsung aja kita mulai 4 kesalahan yang perlu kamu hindari jika ingin mendaki Gunung Salak.
1. Niat Gak Niat
Ada gitu pendaki naik gunung niat gak niat? Ya kami-kami inilah, pasukan kurang gercep. Ada yang bilang, belajarlah dari kesalahan orang lain. Karena hidup terlalu singkat untuk mengalami tiap-tiap kesalahan. Setidaknya hidup bisa lebih mudah kalau kita bisa dapet “cheat” dari orang yang udah pernah ngelewatin stage itu. Iya gak sih? Iyain aja biar ganteng.
Kesalahan kami saat itu ialah, uang yang sedikit bersamaan dengan hasrat mendaki kian bermuncratan, tapi gak mau ke Gunung Gede lagi. Jatuhlah pilihan pada Gunung Salak dengan pertimbangan yang tidak bisa disebut pertimbangan. Akhirnya tanpa berniat untuk niat gak niat, cara kami menjatuhkan pilihan tersebut membuat kami tanpa sadar terjebak dalam label pendaki niat gak niat.
Tipsnya adalah:
- Hindari dalih-dalih klasik yang akan menjadikanmu secara otomatis masuk ke dalam kategori pendaki/tim niat gak niat. Contohnya: “Bujet minim bosque!,” atau “Salak deket nih,” atau “Akses dari ibukota gampang lay,” atau “Cuma 2.211 tingginya cuy, bisa kaliiii..” Saya pastikan kalian gak akan dapat kesan apa-apa kalau sampai kalimat-kalimat tadi keluar dari mulut kalian. Percayalah.
- Sadarilah bahwa bisa mendapatkan kesempatan mendaki Gunung Salak itu K-E-R-E-N. Kesadaran yang kamu miliki berbanding lurus dengan banyaknya informasi yang kamu kumpulkan. Semakin banyak informasi didapat, semakin tinggi pula kesadaranmu bahwa mendaki Gunung Salak itu emang keren. Dan sia-sia kalau mendaki gunung ini sekadar mendaki?
- Buat jadwal yang jelas untuk mencapai 6 puncak Salak. Salak sejatinya bukan gunung yang berdiri sendiri, melainkan kompleks gunung tua yang terdiri dari banyak puncakan. Mendaki Puncak Salak 1 saja mungkin butuh 1 kali perjalanan. Lima puncak lainnya perlu dilakukan di waktu yang berbeda sebab jalurnya berlainan antara puncak yang satu dengan puncak yang lainnya.
- Titian Alam adalah kunci. Kalau kamu gak tau Titian Alam yang ada di Gunung Salak atau sebagian pendaki menyebut trek sadel, artinya mulai hari ini kamu wajib penasaran bin kepo. Titian Alam adalah punggungan sempit di antara 2 jurang yang menghubungkan Puncak Salak 2 dengan Puncak Salak 1. Untuk yang satu ini kamu perlu mendalami navigasi darat, survival, botani praktis, dan segala ilmu mountaineering tingkat lanjut sebagai bekal perjalanan. Mungkin juga perlu pendampingan dari seorang ahli.
Kalau kamu sudah tidak berdalih klasik, tak memandang remeh, merencanakan jadwal keenam puncak, dan bercita-cita melintasi Titian Alam.[2] Artinya kamu telah bersungguh-sungguh maka kamu siap untuk … melanjutkan baca.
2. Bicara Sembarangan
Saya mau ingatkan kembali bahwa saya tidak berencana menulis hal-hal berbau mistik. Tapi kalau adapun saya pastikan hal tersebut memang saya alami di gunung Salak. Ini gak lagi ngejar rating kan? Klen pikir ini TV?
Saya bisa mengerti kalau ada orang-orang yang memang cara bicaranya ceplas-ceplos, semau gue, atau dalam bahasa Bekasinya mah “set dah tu bacot kagak diayak dulu apah?” Cobalah untuk pintar memosisikan diri dan sadar di mana kamu berada. Kalau di kota saja kita perlu santun dalam berbicara supaya orang lain menghargai kita, apalagi di lereng Gunung Salak. Wilayah pedalaman yang penduduknya belum terkontaminasi dengan diksi-diksi bangsat dari jameters sosmed: jemput cewe depan gang .
Ketika kami mendaki Gunung Salak pada 2011—tahun di mana gerombolan jamet masih di dasar laut belum nongol ke permukaan, dan pendaki Russia belum mengeluh “this mountain is crazier than Elbrus”[3]—kami sudah lebih dulu menghafal ribuan diksi-diksi bangsat hasil pergaulan sub-urban. Salah satu diksi bangke yang kami susun sedemikian rupa hingga berujung malapetaka dapat kita simak dalam percakapan berikut ini:
“Nyom! masak kita nyom!” ajak saya.
“Panas-panas gini enaknya minum es bukan masak.” ujar Tenyom mencoba menolak.
“Lah, bentar lagi juga dingin, taro aja jerigen airnya di luar. Penting masak dulu, laper.” Ujar saya.
“Wah ini gimana ya ting, lagi panas-panas begini tau-tau ujan turun.”
“Hus! Jangan ngomong-ngomong hujan!” Sanggah bang Gading, guide kami.
Saya dan tenyom saling bertatapan, pongo, gak mudeng, berusaha keras melakukan pengejawantahan suatu makna tersirat dari larangan seorang guru yang datangnya tiba-tiba. Dan dalam hitungan 10.
9..
8..
7..
6..
5..
4..
3..
2..
1..
BYARRRRR..!!!! Hujan tumpah dari langit! CEGEERRRR…!!!! Guntur dan kilat menyambar silih berganti.
Tenda kami bocor, harapan kami ambyar, dengan basah kuyup kami terpaksa kembali turun ke Simpang Bajuri. Tidur semalaman di shelter itu dengan baju basah masih melekat di badan. Hina. Itu baru minta hujan, bayangkan bila saat itu diksi-diksi ala jamet yang benar-benar kami pakai. “Ting lu nyuci, gua minum soda!” Mungkin hutan Salak akan hujan soda, dan keinginan Tenyom minum es siang itu pun tercapai.
Diksi ngehek lainnya adalah bersiul. Eh ini bukan diksi ya? Pokoknya masih yang keluar dari mulut lah.
Saya tak ingat pernah membaca aturan tertulis dilarang bersiul di Gunung Salak. Mungkin ini termasuk aturan tidak tertulisnya. Singkatnya sesaat setelah harapan kami menapaki puncak Salak sudah melayang bablas ke angkasa persis layangan putus. Dalam perjalanan menuju shelter Bajuri untuk bermalam, saya mencoba menghibur diri dengan bersiul. Tetapi kemudian kesenangan saya diganggu oleh teriakan bang Gading. “Hus! Jangan siul! Ntar ada yang dateng.” larangnya tegas. Sontak saya pun menghentikan siulan. Dan dari belakang Tenyom sok bijak menambahi; “Macan ting.. macan..!”
Tengah malam, saat kami mencoba berusaha tidur sambil menahan dingin dari pakaian yang basah, macan kumbang itu datang. Langkah yang terdengar berat, kerpas dari semak-semak arah pasir rengit memupuk kecurigaan, melewati kolong shelter Bajuri di mana kami berbaring di atasnya. Menuju ke arah Cidahu dan menghilang ke sisi barat persimpangan Bajuri.
Sempat terlintas keinginan menyalakan senter dan memastikan apa sebetulnya suara berisik yang mengganggu tersebut. Tapi bang Gading memberi kode kepada kami untuk tetap tidur. Keesokan paginya, tanpa dibahas panjang lebar lagi, kami semua sepakat suara berat malam itu adalah macan kumbang.
Terlepas dari kejadian-kejadian aneh yang gak bisa diterima nalar, di manapun itu berbicaralah yang baik-baik dan yang bermanfaat. Bergurau dengan cerdas tak perlu dibungkus kebohongan supaya jadi lucu.
3. Congkak
Ada kalanya congkak itu gak melulu keluar dari lidah. Yang congkaknya membatin sebetulnya lebih banyak cuma gak keliatan aja. Dan ini yang paling bahaya kalau dibawa ke gunung.
Kesalahan ketiga kami yang patut jadi pelajaran.
Congkak atau sombong yang sudah dibawa sejak dari rumah. Merasa tergabung dalam kelompok pencinta alam yang keren di sekolah, kami mencoba menolak ketika dipaksa menggunakan guide oleh TNGHS. Sebetulnya alasan utamanya di samping jemawa itu ya karena sebelumnya kami gak mempersiapkan upah untuk seorang guide.
Berusaha sedemikian rupa supaya kami bisa mendaki tanpa ditemani guide akhirnya kami pun … kalah. Harga Rp. 200.000 disepakati untuk upah guide yang akan menemani kami sepanjang pendakian.
Sepanjang jalan kami membatin..
“Trek aspal kek gini aja pake guide.” (emot manyun)
“Ah, trek bonus landai begini aja pake guide.” (emot senyum palsu)
“Ah, trek kawah ratu kalau cuma pantangannya jangan jongkok doang gak perlu pake guide.” (emot makan tisu basah)
“Nah itu, itu..! Bocah-bocah malah ada yang ngecamp di kawah ratu gak pake guide.” (emot ngegas, bang gading ngegas bocah-bocah buat bongkar tenda, rasakan itu.)
Tapi percayalah gaes, apa yang kamu tidak suka bisa jadi sebetulnya itulah yang baik untuk hidupmu.
Saya gak habis pikir kalau gak ada bang Gading, mungkin kami sudah tersasar di pekatnya hutan Gunung Salak. Saya yang lebih banyak berjalan di belakang, memperhatikan berkali-kali bang Gading mesti meneriaki Adam yang berjalan di depan untuk kembali ke jalan yang benar. Insap lu Nyom. Adam salah jalan terus. Saya mengira congkak menyebabkan pikiran gagal fokus, gangguan mental, dan janin. Gagal fokus di gunung, pikiran kosong, maka tak ada ampun untuk kesalahan satu ini. Beruntung kami punya bang Gading saat itu.
4. Minim Persiapan
Meski tergolong gunung pendek, persiapan mendaki gunung ini tidak bisa disamakan dengan menaiki bukit. Kalau kamu terbiasa dengan persiapan matang ke gunung-gunung tinggi, maka untuk Gunung Salak pun perlakuannya harus tetap sama.
Persiapkan betul perlengkapanmu secara teliti, uji sebelum mereka dipakai mendaki. Tenda bisa kamu guyur dengan air. Kecocokan ukuran carrier di jalur dengan vegetasi yang rapat. Kompor apakah dapat menyala dengan baik? Sepatu apakah solnya cocok pada medan pendakian Gunung Salak? Menu makanan apa yang cocok di masak di sana? Gak usah dijawab, bukan kuis.
Serta informasi detail mengenai Gunung Salak, transportasi apa yang akan membawamu ke sana? Lewat jalan apa? Ke jalur apa? Lewat desa apa? Medan seperti apa yang akan dilalui? Berapa lama perjalanan? Bertemu siapa? Naik sama siapa? Cowok bukan? Sekarang sedang berbuat apa? Kamu selingkuh ya? Selengkap-lengkapnya informasi yang dapat kamu gali dari sumber manapun. Bahkan kalau perlu meninjau lokasi, lakukanlah. Grebek! Grebek!
***
Kebanyakan kesialan di gunung bukan dari hal-hal mistik setempat tapi justru dari kecerobohan dan kesombongan diri kita yang seringnya tidak kita sadari. Mendaki gunung sejatinya adalah untuk melatih diri kita untuk jadi pribadi yang lebih baik.
Semoga dari tulisan ini ada hikmah yang bisa diambil, kalau ga ada .. ah masa iya ga ada sih *kok maksa.*
Jangan ambil apapun kecuali gambar, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak, jangan bunuh apapun selain waktu.
***
[1] Herman Lantang; Mendjeladjah Ke-enam Puntjak Gunung Salak. http://hermanlantang.blogspot.co.id/2012/06/mendjeladjah-ke-enam-puntjak-gunung.html Namun Taman Nasional Gunung Halimun Salak hanya memasukkan 3 puncak ke dalam daftar tujuan pariwisata mereka, yaitu Puncak Salak 1 (2.211 mdpl), Puncak Salak 2 (2.180 mdpl) dan Puncak Sumbul (1.926 mdpl). ↵ kembali ke atas
[2] Titian Alam adalah sebuah julukan untuk menyebut trek sadel—sebuah punggungan sempit yang menghubungkan puncak salak 1 ke puncak salak 2—yang diberikan oleh kelompok perintis, salah satunya adalah Herman Lantang. Dalam catatanya berjudul Mendjeladjah Ke-enam Puntjak Gunung Salak, Herman menulis: “Sejak thn 1965 , tiga kali aku gagal menemukan ‘titian alam’ untuk penyeberangan dari Gn Salak-1 ke Salak-2, bahkan sekali dengan tak sengaja sempat memasuki jurang Ciapus yang dalamnya sekitar lebih dari 600 m, tanpa perlengkapan yang memadai pada awal 1969, seperti yang kujelaskan di atas tadi; baru pada April 1969, aku berhasil menemukan ‘titian alam’ tsb.” http://hermanlantang.blogspot.co.id/2012/06/mendjeladjah-ke-enam-puntjak-gunung.html ↵ kembali ke atas
[3] Mapala UI; Menembus Hutan Rimba Menuju Puncak Gunung Salak; http://mapala.ui.ac.id/2014/09/menembus-hutan-rimba-menuju-puncak-gunung-salak ↵ kembali ke atas
Author
Add comment