Tulisan kali ini masih membahas soal gunung, di Indonesia pastinya. Gak apa-apa yah masih malas kalau mau ke pantai teringat sesuatu soalnya ha ha. Yak, Gunung Semeru atau dikenal juga dengan nama puncak Mahameru adalah destinasi saya kali ini. Ada yang belum tahu Mahameru itu di mana? pasti tahulah film 5cm yang beberapa bulan lalu diputar di bioskop itu berlokasi di gunung ini. Kalau belum tau juga lanjutkan bacanya saja ya.
Gunung Semeru terletak di wilayah administrasi kabupaten Lumajang dan kabupaten Malang, Jawa Timur. Menjulang sejauh 3.676 meter dari permukaan laut, membuat Semeru menjadi gunung tertinggi di Pulau Jawa. Semeru juga merupakan kawasan hutan yang dilindungi, bersama saudaranya—Bromo—yang terkenal itu, ia masuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.
Seperti biasa tim yang akan berangkat tak lain dan tak bukan adalah 5 orang gembel dikurang satu gembel yang pernah mendaki gunung Slamet sebelumnya. Seorang yang tidak bisa ikut itu adalah Verry (@verylyuz) alias Beller yang usut punya usut sedang ada acara organisasi. Tapi kekosongan personil ini berhasil diisi oleh calon ustadz masa depan bernama Abeng (@AbengFariz). Ya, kali ini kami bawa-bawa calon ustadz biar perjalanannya jadi barokah. Al-fatihah!
Pakurcep alias pasukan kurang cepat, julukan yang didapat dari orang Cikarang sewaktu mendaki ke Slamet. Heh.. tapi kami sekarang boleh sok sedikit lah, biar namanya pasukan kurang cepat untuk pendakian ke Semeru kali ini kami jamin lebih cepet malah kelewat cepet a.k.a. nyasar. Ya gak lah. Well, dua diantara kami bela-belain ikutan Mapala di Universitasnya masing-masing, kalau udah mau masuk situ pasti gemblengan fisik yang didapat gak pernah tanggung-tanggung. Pokoknya sekarang kami PeDe abis, ilmu yang didapat harus bisa diterapkan di pendakian ini.
Berbekal sedikit pengetahuan dan latihan fisik dari Mapala, serta sokongan dana yang gak pernah mencukupi buat bertualang kami pun berangkat. Sebelum berangkat, kami sempatkan mencari tenda. Beli. Iya beli malu minjem mulu. Niatnya tenda yang baru ini bakal jadi awal investasi kami untuk ke depannya mengeksplorasi daerah-daerah di Indonesia guna mengenal lebih jauh negeri yang kita cintai ini.
Keren gak, keren gak? Apa kata lu dah
Mulai dari ceklis peralatan, dana, logistik dipersiapkan dengan baik. Sejenak berpikir apa yang kurang, apa yang tertinggal ternyata kurang si Beller. Absennya saudara jauh Tarzan itu memang berdampak besar baik segi tenaga maupun dana! Tapi ya sudahlah yang penting sudah pamit ke dia. Tiba di stasiun Senen, lautan manusia menyambut hangat kami bahkan kelewat panas malah. Ada yang tereak-tereak soalnya bikin naik pitam. Hari itu memang bertepatan dengan arus mudik masih dalam suasana lebaran. Kami harus mengantre panjang sebelum akhirnya bisa menikmati perjalan kereta menuju stasiun Kota Baru Malang. Sejak tiba di Senen, orang-orang dengan dandanan pendaki banyak berseliweran di stasiun ini. Biasanya kalau udah begini yang dilirik adalah wanitanya, wanita yang hobi naik gunung itu sesuatu. Yang sebelas dua belas Medina Kamil. Iya, iya iya!
“Kebanyakan pada mau ke Semeru, Ting!” kata Adun (@adehamidarip) menyampaikan hasil investigasinya kepada saya.
“Bakalan ramai nih gunung kayanya,” gumam saya dalam hati.
Kalau dihitung-hitung sebenarnya tidak lama kami menunggu. Kami sudah ada di dalam kereta tapi ada yang sedikit berbeda. Sepi. Jalur sirkulasi manusia di gerbong berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak ada lagi tukang kopi dengan air panasnya serta penumpang yang berdiri berdesakan seperti waktu ke Sumbing. Semuanya duduk di bangku masing-masing. Iya, sistem boarding yang diterapkan PT KAI kelihatannya sukses menertibkan penumpang di hari-hari lebaran.
Roda besi mulai berputar. Perjalanan menuju Malang dimulai. Boneka lumba-lumba biru lucu, boleh nemu di stasiun jadi mainan asik si Tenyom selama di kereta. Lama perjalanan ini selalu jadi bosan tersendiri. Entah sudah berapa batang rokok yang dihabiskan Adun dan Bibir di pintu gerbong kereta. Sering kali bercakap-cakap dengan penumpang lain jadi penghilang bosan. Ibu-ibu di sebelah kami sampai menawarkan astor anaknya satu toples. Emang dasar anak Bekasi gak tau diri, baru dipegang sudah habis setengah toples itu astor. Anak ibu itu lucu, masih 5 tahun mungkin, jadilah bahan candaan si Adun semalaman.
Eh, gak terasa sudah berganti hari, di tiket sih tertulis jam 9 sampai. Bibir (@Ryanardii) melirik ke arah jam di tangannya. Ini jam 11 siang. Haa.. telat lagi. Tidak mau kalah dengan Senen, Malang juga menyambut kami dengan lautan manusia, anak cucu Adam berkumpul disini.
“Hoaa.. panas nih cepetan telepon si Badak..!” keluh Tenyom setengah berteriak.
Badak (@veldinor) adalah teman kami waktu sama-sama di SMA, dia melanjutkan kuliah di Unbraw Malang. Jangan tanya kenapa dipanggil badak, bukan gajah atau panda yang lebih imut sedikit. Skip. Rencana mau minta dituntun dia biar tidak nyasar. Tapi kelihatannya dia tidak bisa datang menyambut kami bersama lautan manusia lainnya di stasiun hari itu. Alhasil kami naik angkutan umum lupa kena berapa. Pokoknya kami minta diantar sampai ke Pasar Tumpang. Di pasar Tumpang inilah tempat ngetemnya Jeep dan truk yang siap mengantarkan para pendaki sampai ke Ranu Pani (gerbang pendakian gunung Semeru). Biasanya pendaki dari belahan bumi mana aja yang datang ke sini pasti berkumpul buat patungan Jeep. Jadi dalam satu Jeep atau truk bisa memuat beberapa kelompok pendaki. Jangan lupa juga untuk menyiapkan surat keterangan sehat. Kalau ada yang belum sempat minta di rumah, di Tumpang juga ada rumah sakit. Tanya-tanya aja. Surat ini nantinya sebagai syarat untuk bisa mendaki gunung Semeru.
Setelah dapat kelompok kami mulai lakukan muat barang ke Jeep. Sebelum ke Ranu Pani pendaki akan diantarkan dulu ke Gubugklakah untuk mendapatkan surat izin. Dari Gubugklakah bablas terus ke Ranu Pani. Ranu Pani adalah sebuah desa kecil yang menjadi sebuah gerbang bagi para pendaki untuk mencapai puncak Mahameru. Di desa itu ada danau kecil beranama Pani. Iya ranu = danau. Hati-hati kalau naik Jeep sore-sore karena sampai di Ranu Pani pasti malam (lah terus?). Bersiap untuk Jaket selalu nempel di badan. Karena kalau kemalaman di jalan itu dinginnya nusuk, asli. Jalan menuju Ranu Pani termasuk yang sudah bagus, sudah di beton. Memasuki desa Ranu Pani jalannya aspal masih lumayan mulus.
Di Ranu Pani kami harus melakukan registrasi kembali dengan surat yang kami dapat di Gubugklakah. Ada rumah yang bisa dijadikan tempat bermalam bagi para pendaki sebelum mendaki atau sebaliknya. Kami tidur di sana sebelum melanjutkan perjalanan esok paginya.
Mahameru.. kami datang!
Pagi cerah di Ranu Pani, embun-embun nampak tengah menguap di danau. Saya pesan lima mangkok bubur ayam untuk para punggawa yang masih lelap dengan matras tidurnya. Mudah-mudahan cukup untuk mengisi perut yang kosong. Jarum jam menunjuk angka 7, waktunya untuk bergegas menuju Mahameru, ah rasanya sudah tidak sabar lagi. Sebelum naik kami sempat diberi wejangan dari seorang pendaki yang baru saja turun. Tenyom paling suka kalau yang beginian bukan untuk didengarkan tapi untuk jadi bahan candaannya.
Kami berlima bekumpul melingkar untuk berdoa sejenak. Adun, ketua pendakian, mulai berjalan di depan. Disusul yang lain, berjalan perlahan mengikuti jalan aspal. Dari jalan ini langsung kelihatan gunungnya, pak ketua langsung narsis minta di foto. Kemudian kami sampai di gapura bertuliskan “SELAMAT DATANG PARA PENDAKI” seketika dada kami membusung, merasa keren lantaran untuk pertama kalinya ada yang mengakui kami sebagai para pendaki walaupun yang berkata hanya seonggok gapura :lol . Jalur pendakian ada di sebelah kiri, jalur lebar di sebelah kanan adalah jalur ke ladang. Dari sini jalannya masih landai berputar-putar (gimana ya jelasinnya) pokoknya kondisi trek nya masih enak dikonblok rapih. Treknya dibuat memutar punggungan – melintasi lembah – memutar punggungan lagi begitu terus sehingga belum terlalu menguras tenaga.
Sampai di pos 1 kami bertemu seorang pendaki, oh tidak, rupanya satu keluarga anaknya dua orang kecil-kecil dipakein setelan layaknya pendaki profesional. Keren abis nih keluarga, tapi saya tidak mau lama-lama bikin ngiri ngeliat yang begituan ha ha. Sampai di Pos 2 diem semenit gak duduk terus jalan lagi. Sialan si Adun gak dikasih napas kita. Tak Jauh dari pos ada papan info bertuliskan Watu Rejeng. Disini tanpa pos, malah kelihatannya baru saja ada pohon yang tumbang. Setelah ini jalan mulai berpasir, gila, dan … siapkan slayer deh kalau tidak mau mukanya jadi jelek (emang udah jelek padahal).
Dari tadi banyak anak-anak berwajah oriental malah orang tua. Iya tua. Jumlahnya gak tanggung-tanggung satu bis Hiba ada kali. Silih berganti hendak turun. Ternyata tujuan mereka Ranu Kumbolo (makanan apaan tuh?) bukan itu bukan makanan sob, tapi sebuah danau besar yang terkenal di kalangan pendaki. Rupanya Ranu Kumbolo sudah jadi destinasi wisata keluarga bukan hanya para pendaki saja. Dari Watu Rejeng masih 4,5 km lagi hingga sampai di Ranu Kumbolo
Ranu Kumbolo
Jam 12 siang lebih sedikit, kami terkejut ketika pohon-pohon yang mulai menjarang menyuguhkan pemandangan yang luar biasa. Ranu Kumbolo, danau besar itu ada di bawah sana. Di tepi danau itu terlihat warna-warni tenda para pendaki. Kami segera menuruni bukit, menghampiri lembah yang tak pernah sepi dengan decak kagum orang-orang yang mengunjunginya. Sepanjang trek mata saya melirik mencari-cari warna ungu bunga-bunga Verbena Brasiliensis Vell. Sering mereka yang mengunjungi Semeru menyebut bunga itu Lavender karena rupanya yang mirip. Sebaran terbesarnya sebenarnya ada di Oro-oro Ombo, namun karena sifatnya yang invasif tanaman ini tumbuh juga di Ranu Kumbolo bahkan sampai sabana Bromo. Tanaman ini tumbuhnya hanya di bulan Januari hingga Agustus. Jadi jika kalian naik selain di luar bulan masa mekarnya bunga itu, dipastikan kalian hanya menjumpai semak yang terpanggang matahari. Kami juga nampaknya belum beruntung untuk bisa melihat bunga-bunga yang membuat kontras abu-abu trek yang berdebu.
Ranu Kumbolo ada di ketinggian 2400 mdpl. Di sini kita bisa mendirikan tenda, kalau kalian hendak menunggu sun rise, Ranu Kumbolo bisa mendadak romantis. Matahari akan muncul diantara dua bukit, di saat mata kalian sedang dimanjakan belaian embun Ranu Kumbolo. Hanya saja kita harus waspada pada suhu yang bisa turun drastis pada malam hari. Suhu minimal bisa mencapai -5°C sampai -20°C. Lebay? Tulisan di papan petunjuknya sih begitu. Sudahlah. Abenk mulai mengeluarkan sajadah. Kami meunaikan sholat dzuhur di sini, sembari merenggangkan otot.
Tepat jam 2 siang kami melanjutkan kembali perjalanan. Di depan kami sudah menanti Tanjakan Cinta untuk dilalui. Sepintas kelihatan landai, tapi setelah dilalui lumayan juga buat kita jadi pegang-pegang paha sendiri. Apa itu yang dimaksud cinta?
Adun menargetkan kami sampai di Arcopodo sebelum maghrib. Setelah berhasil melewati Tanjakan Cinta, dibalik bukit sudah terhampar padang rumput luas yang disebut Oro-Oro Ombo. Padang rumput ini bisa juga dijadikan arena bersepeda bagi para pencinta down hill. Untuk melewati Oro-Oro Ombo, bisa melewati bukit atau langsung berjalan di tengah-tengah padang rumput yang gersang. Di ujung padang rumput ini sejauh 2 km kita akan berjumpa di pintu pos Cemoro Kandang. Yak, sesuai namanya daerah ini ditumbuhi banyak pohon Cemara (kayak lagu) treknya tidak terlalu terjal hanya saja vegetasi hutan Cemara ini membentang begitu luas seperti tidak ada akhirnya. Dari papan petunjuk di Cemoro Kandang, wilayah ini memang memiliki jarak paling jauh untuk sampai ke pos berikutnya, Jambangan sekitar 3 km.
Di Cemoro Kandang ini kami banyak menghabiskan waktu, yang pertama karena banyak berhenti untuk istirahat, kedua Tenyom dan Abeng jauh tertinggal di belakang saya, Bibir dan Adun. Sehingga kami harus menunggu mereka berdua. Sekitar pukul 4 sore kami tiba di Jambangan. Dari pos ini kita bisa melihat gunung Semeru dengan jelas, kondisi trek tidak lagi menanjak, pasirnya semakin halus juga tebal, vegetasi berupa tanaman Cantigi (Vaccinium varingiaefolium) dan Edelweiss (Anaphalis javanica) menghiasi jalur ini.
Setelah kira-kira 1,5 km kami berjalan, kami pun tiba di Pos Kalimati. Serem ya namanya. Kalimati terletak di ketinggian 2.700 mdpl, luas, mungkin hampir mirip dengan Surya Kencana di Gunung Gede. Ada mata air juga untuk bekal pendaki. Tak usah sungkan untuk bermalam di Kalimati. Tempatnya luas ditambah pohon-pohon Cemara menambah kesan hangat lembah ini apalagi pasirnya yang halus membuat saya berhalusinasi layaknya ada di pantai.
Hari itu matahari sudah mulai terbenam. Kami berembuk antara melanjutkan perjalanan sampai Arcopodo atau bermalam di Kalimati. Setelah sejenak berdiskusi kasak-kusuk tanpa kopi, Adun memutuskan melanjutkan perjalanan dan mendirikan camp di Arcopodo. Selanjutnya jam 2 malam kita mulai Summit Attack.
Gila! pikir ku dalam hati.
Di saat yang lain bermalam di Ranu Kumbolo dan sebagian di Kalimati, kami justru berjalan terus dari jam 7 pagi hingga malam mungkin baru sampai di Arcopodo, itu pun kalau kebagian spot untuk mendirikan tenda. Tapi adrenalin semakin melonjak saja sedari tadi. Saya juga tidak berpikir kami akan celaka karena memang Adun dari dulu selalu tenang pembawaannya. Kami pun melanjutkan perjalanan. Bergerak ke timur menuruni lembah yang sepertinya ini merupakan aliran yang disebut Kalimati itu. Setelah itu berbelok lagi ke selatan dan kami memasuki hutan kembali, jalannya terjal terpampang di depan kami.
Gelap, gelap memaksa kami mengeluarkan senter dari kepala ransel masing-masing. Saya merasa oksigen sudah mulai menipis, napas semakin terengah-engah saja dari tadi. Kami berjalan dalam formasi seperti barisan semut. Tertatih meniti trek sempit yang begitu labil lapisan debunya juga tebal. Sejauh ini masih belum ada tanda-tanda kami sampai di Arcopodo. Sampai selang beberapa menit terdengar suara di atas sana, akhirnya kami sampai di Arcopodo. Pos yang merupakan batas vegetasi terakhir gunung Semuru. Setelah ini tidak akan ada lagi pepohonan.
Penuh Sesak Arcopodo
Benar saja di sana kami tidak kebagian tempat. Seperti halnya lautan manusia di stasiun Senen kemarin, Arcopodo begitu penuh dengan anak manusia. Bagaimanapun juga kami harus dapat tempat untuk tidur malam itu. Tanpa basa-basi Adun langsung bertanya kepada seseorang di dekatnya.
“mas, masih ada tempat buat nge-camp gak ya?” Tanya Adun pelan.
“what? pardon..?” Sahut si mas yang ditanya Adun.
Saya lihat adun terdiam, dia menoleh ke arah kami yang ada di belakangnya, rupanya dia baru sadar kalau ia bertanya pada pendaki mancanegara. Adun yang Sunda tulen kelahiran Ciamis ini akhirnya mengulangi pertanyaan dengan bahasa Inggris yang sekenanya.
Si bule nyerocos, Adun cuma bisa ngangguk-ngangguk gak jelas. Dari bahasa tubuhnya kita disuruh untuk eksplor ke bagian atas mungkin saja masih ada tempat. Setelah si bule capek nyerocos, Adun mengakhiri dengan kalimat “Thank you, sir!” iya kalau gak salah begitu.
Setelah beberapa menit obok-obok Arcopodo, kami pun dapat spot untuk tenda walupun tempatnya miring. Ini terpaksa. Kami mengisi perut yang kosong sebelum bergegas tidur karena waktu tidur sangat sedikit. Besok Jam 2 pagi buta sudah harus Attack Summit. Jaraknya hanya tinggal 1,5 km ke puncak. Tapi ini akan memakan waktu setidaknya 5 jam lah.
Puncak Mahameru 3676 mdpl
Pagi buta jam 2 pagi, kami sudah bersiap melakukan Summit Attack bersama beberapa kawan pendaki yang lain. Barang-barang kami tinggalkan di dalam tenda kecuali barang yang memang harus dibawa seperti senter, obat-obatan, air, kamera. Ini agar meringakan pendaki karena trek berpasir yang akan dilalui nanti sangat curam dan tergolong sulit. Betapa terkejutnya kami, ketika melihat cahaya dari lampu senter para pendaki yang membujur padat dari batas vegetasi sampai ke atas puncak Mahameru. Tidak pernah sebelumnya saya melihat gunung didaki orang sebanyak ini. Padat merayap. Lautan manusia di Senen pindah lagi ke Semeru. Subhanallah.
Kami berlima mendaki perlahan, demikian pula yang dilakukan pendaki lainnya. Efek slow motion begitu terasa pagi itu. Kami naik satu langkah, merosot lagi dua sampai tiga langkah. Benar-benar pengalaman yang luar biasa. Lautan pasir yang sangat tebal ini menguji mental dan fisik para pendaki yang hendak menggapai puncaknya. Tak sedikit saya melihat banyak yang terbaring kelelahan karena sulitnya trek.
Sekelompok pendaki di belakang terlihat dalam jarak pandang kami. Seperti mereka pendaki profesional terlihat dari apa yang mereka kenakan. Sepatu, geiters, jaket, stick di kedua tangan, google pokoknya oke punyalah ini team. Mereka mendaki dengan arah zig zag, serong kiri-serong kanan-serong kiri lalala lalala lalala lala. Saya mencoba meniru gaya mereka mendaki, ternyata tidak buruk, mendaki dengan cara zig zag jauh lebih menghemat tenaga juga cepat ketimbang mendaki lurus ke atas.
Di sela-sela sulitnya mengatur nafas Abeng mulai berulah, mendadak ia minta turun gegara kebelet bo*ker. Plis Beng, pelisssss.
Sampai fajar menyingsing kami masih dalam perjuangan melewati lautan pasir ini. Semakin banyak saja pendaki yang tumbang satu per satu kebanyakan diantaranya wanita. Jarum jam menunjuk angka 6. Sedikit lagi, dalam hati menghibur diri. Saya hanya bisa berpatokan pada waktu. Lelah menjadikan saya tak lagi mengukur dengan jarak pandang.
Jam 7 kurang sedikit, kami pun sampai di puncak Mahameru. Sepintas saya merasa seperti di Bulan. Hilang sudah rasa capek yang berkepanjangan. Hebat! Decak kagum tak henti-hentinya. Lautan manusia kini berganti dengan lautan awan di puncak Mahameru. Oh iya! ada satu yang ingin saya cari di puncak ini sejak dari bawah tadi. Iya. Nisan Soe Hok Gie eh plakat atau apalah namanya. batu yang bertuliskan nama Soe Hok Gie. Seorang tokoh aktivis mahasiswa angkatan 66 yang senang mendaki juga. Saya hanya ingin memastikan bahwa ia benar-benar pernah ada di sini, di Mahameru.
“Ngapain lama-lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali-kali menjadi orang tertinggi di Pulau Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di Pulau Jawa ini.”
— Soe Hok Gie
Belum lagi puas memandangi langit biru ini, sekali lagi kami dikejutkan oleh sebuah letupan, seketika orang-orang berlarian. Rupanya itu letupan dari kawah Jonggring Saloko yang mengeluarkan kepulan asap tebal ke langit. Letupan ini terjadi antara 15-30 menit sekali. Orang-orang berebut mengabadikan peristiwa itu. Tak jarang ada yang mencoba mendekati bibir kawah karena penasaran, mau foto-foto dan beragam motif lainya saya juga tidak tau. Padahal mendekati kawah Jonggring Saloko adalah perbuatan yang dilarang di Semeru karena asap dari letupan yang mengandung racun dapat membahayakan pendaki. Cari aman sajalah. Jangan mau mati konyol di gunung.
Matahari mulai bergerak naik, tak baik berlama-lama di sini karena arah angin akan berubah membawa gas racun itu ke arah pendaki. Kami turun dengan tenaga yang seakan terisi kembali. Jangan terkejut jika saya katakan kami turun hanya dalam waktu 20 menit. Naik berapa jam? 5 jam. Bagus sekali! Saat matahari sudah di atas kepala, kami mulai bergerak turun dari Arcopodo menuju Ranu Kumbolo. Sekitar jam 5 sore kami sudah berada di sana. Kami putuskan untuk bermalam di Rakum sebelum kembali melanjutkan perjalanan pulang.
Pulang. Sampai Jumpa Lagi Mahameru
Senja jingga semakin menghitam, udara di lembah ini kian dingin menusuk tulang. Hari-hari yang melelahkan membuat kami tertidur lebih cepat. Hingga tak terasa sudah berganti hari. Sayang seribu sayang baterai kamera sudah habis semua kami jadi tidak bisa mengabadikan terbit surya di Ranu Kumbolo. Perjalanan kembali dilanjutkan, menuju Ranu Pani dan singgah sebelum mencari Jeep yang akan membawa kami ke Pasar Tumpang. Sore itu di Ranu pani Tenyom sudah kontak si Badak agar mencarikan tiket berhubung sangat sulit mencari tiket ke Jakarta lantaran sudah banyak yang habis. Di Tumpang Badak sudah menunggu di atas motornya. Kelihatannya dia gak dapat tiket ke Jakarta. Sembari mencari-cari tiket Badak menawarkan kami menginap di rumahnya untuk sementara waktu. Baik sekali teman yang satu ini. Thank’s dak! Tanpa kau kami bakal luntang-lantung jadi gembel sungguhan.
Tanggal 28 Agustus 2012, subuh-subuh sekali kami resmi angkat kaki dari Malang, Badak mengantarkan kami sampai stasiun Malang Kotabaru. Terima kasih banyak atas bantuanmu kawan. Dan sampai jumpa lagi Mahameru, semoga masih sempat kami mencium aroma pasir tandusmu lagi.
***
[/vc_column_text][/vc_column][vc_column width=”1/6″][/vc_column][/vc_row][vc_row][vc_column width=”2/3″][vc_single_image image=”7863″ img_size=”full”][/vc_column][vc_column width=”1/3″][vc_row_inner][vc_column_inner offset=”vc_hidden-xs”][vc_empty_space height=”325px”][/vc_column_inner][/vc_row_inner][vc_column_text css=”.vc_custom_1542171583731{margin-bottom: 0px !important;}”]
MENGENANG
[/vc_column_text][vc_custom_heading text=”RYAN ARDI MAULANA” font_container=”tag:h2|text_align:center|color:%23000000″ google_fonts=”font_family:Lato%3A100%2C100italic%2C300%2C300italic%2Cregular%2Citalic%2C700%2C700italic%2C900%2C900italic|font_style:700%20bold%20regular%3A700%3Anormal” css=”.vc_custom_1542171959024{margin-top: 10px !important;}”][vc_column_text]
16 April 1992 – 28 Agustus 2017
[/vc_column_text][/vc_column][/vc_row]
Author
Add comment